Konten social media berbau flexing beberapa waktu lalu sempat menjadi viral bahkan dianggap menjadi agenda marketing. Seperti misalnya para brand skincare owner berlomba-lomba memamerkan harta dan produk jualan mereka melalui konten TikTok. Tidak sedikit diantaranya bahkan mendapatkan jutaan views di media sosial.
Namun, di tahun 2025, akankah strategi flexing marketing tetap menguntungkan dan membuat brand menjadi viral? Untuk mengetahui jawabannya, mari telusuri artikel tentang konten flexing di bawah ini.
Apa itu Konten Flexing dalam Marketing?

Pada dasarnya, flexing adalah kegiatan pamer seperti menunjukkan keberhasilan, harta, dan lain sebagainya. Dalam konteks pemasaran, kegiatan flexing biasanya digunakan untuk menarik perhatian audiens melalui konten social media.
Tidak sedikit brand yang menganggap bahwa flexing menjadi tolak ukur kebanggaan apakah produk mereka dikenal banyak orang atau belum. Beberapa contoh tindakan flexing marketing adalah menonjolan kehebatan atau kemewahan produk/jasa yang ditawarkan, menunjukkan pemesanan produk yang melimpah, dan lain sebagainya.
Meski demikian, di kondisi tertentu, sebagian masyarakat justru merasa senang dengan aksi pamer untuk menunjukkan status sosial mereka. Akan tetapi, jika Anda menggunakan strategi pemasaran melalui pamer berlebihan, publik bisa merasa muak dan menilai brand Anda buruk.
Jadi, apakah flexing cukup efektif dalam strategi marketing?
Dua Sisi Flexing Marketing di Social Media

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari menelusuri dua sisi dari kegiatan flexing dalam agenda pemasaran di media sosial.
Sisi Positif Konten Flexing untuk Brand
Konten social media dengan nuansa pamer tentu juga mendatangkan sisi positif atau keuntungan bagi brand, diantaranya yaitu:
a. Mudah Mendapatkan Perhatian
Konten flexing umumnya memang mencolok, berbeda, dan mudah mengundang rasa penasaran audiens untuk tahu lebih. Saat Anda menunjukkan sisi keberhasilan brand, kesuksesan, kemewahan, atau bahkan sesuatu hal yang eksklusif, konten-konten tersebut memang akan lebih stand out di antara jutaan informasi di media sosial.
b. Pengakuan Sosial
Pada dasarnya, flexing adalah salah satu cara manusia untuk mendapatkan validasi atau pengakuan sosial. Saat seseorang memamerkan pencapaiannya, ia akan berpikir bahwa masyarakat akan menghargainya.
Tidak jarang brand memanfaatkan fenomena ini untuk menegaskan bahwa produk mereka memiliki nilai prestige dan lebih dari kacamata penilaian sosial. Pengakuan ini bisa menjadi modal untuk memperkuat kepercayaan pelanggan atau konsumen terhadap brand.
Dengan kata lain, melalui social proof, brand akan mendapatkan kredibilitas di mata publik.
Akan tetapi, akankah cara pemasaran melalui pamer akan selalu membawa hal yang positif seperti yang telah dijelaskan di atas?
Sisi Negatif Konten Flexing untuk Brand
Tentu saja konten social media flexing tidak selamanya membawa hal positif terhadap brand. Jika terlalu larut dalam keinginan untuk tampil mencolok, brand justru bisa terjebak dalam sisi negatif dari strategi ini. Beberapa risiko berikut pun menjadi sulit dihindari.
a. Reputasi Buruk Jangka Panjang
Persepsi orang terhadap kemewahan memang sangat subjektif. Bagi beberapa orang, konten yang terkesan pamer akan terlihat arogan, berlebihan, bahkan tidak menunjukkan sisi empati sama sekali.
Dalam jangka panjang, ini tentu bisa merusak citra brand, bahkan bisa mengundang backlash. Belum lagi jika situasi publik sedang sensitif seperti keadaan ekonomi yang memprihatinkan dan lain sebagainya. Konten nuansa pamer seakan tidak memberikan nilai kebijaksanaan.
b. Menciptakan Gap Emosional dengan Audiens
Tidak semua orang akan merasa relate dengan kemewahan, eksklusivitas, dan pencapaian yang luar biasa. Konsekuensinya, flexing marketing bisa memunculkan gap emosional antara brand dengan audiens.
Kegiatan flexing seringkali dinilai dapat membuat sebagian orang minder, terpinggirkan, bahkan membawa dampak pada kesehatan mental seseorang. Jika dibiarkan begitu saja, Anda bisa kehilangan simpati audiens terhadap brand.
Content Tren 2025: Frow ‘Wow’ to ‘Why’

Jadi, sebenarnya tidak ada jawaban yang pasti akankah konten flexing bisa selalu membawa keuntungan atau tidak, sebab ada dua sisi yang benar-benar harus Anda pertimbangkan.
Untuk jangka pendek, konten flexing bisa saja membawa keuntungan jika dilakukan dengan bijaksana. Namun, mari terlebih dahulu berkontemplasi terkait ekspektasi publik atau tren masa kini.
Dengan derasnya arus informasi setiap harinya, publik menjadi lebih sensitif dan kritis. Tuntutan informasi yang inspiratif, empatik, dan autentik semakin nyata. Akhirnya, konten pamer atau flexing mulai kehilangan daya tariknya.
Audiens kini mulai mencari sesuatu yang apa adanya melalui konten bermakna dan interaksi nyata. Mereka tidak lagi hanya melihat konten dari tampilan luar saja atau aspek-aspek mengagumkan (wow), tetapi mulai mempertanyakan mengapa konten tersebut bermanfaat untuk mereka (why).
Itulah pemaparan terkait konten social media dengan nuansa flexing di dunia pemasaran. Apakah Anda masih menginginkan strategi ini di tahun 2025?
Jika Anda masih ragu dan ingin mendapatkan insight bijak terkait social media management, silahkan berkonsultasi dengan EON Creative Digital. Dengan tim ahli di bidangnya, kami selalu siap sedia mendorong strategi marketing Anda menjadi lebih strategis, bijak, dan berdampak.